Jumat, 18 Maret 2011

bibit bawal unggulan

Terus Produksi Bibit Ikan Bawal

Jumat, 4 September 2009, 15:37
bawalKita percaya bahwa manusia dilahirkan dengan berbagai ketentuan dari Tuhan. Ia telah membawa serta takdirnya ketika menarik nafas dan menghirup udara untuk pertama kali. Setiap orang yang lahir telah ditentukan oleh Tuhan dengan takdirnya. Bahwa seseorang tersebut akan berprofesi sebagai guru, pekerja, wiraswastawan, pejabat, orang biasa, buruh, dan bahkan menjadi seorang petani.
Seperti apa yang diyakini oleh Suhartono, seorang petani ikan, yang berasal dari daerah Kota Batu Bogor. Ia meyakini bahwa dibutuhkan takdir untuk menjadi seorang petani. Ia memaparkan kepada Majalah Bangkit Tani tentang profesi yang dijalaninya sejak tahun 1989. “Untuk menjadi seorang petani ikan, ada lima patokan yang harus dimiliki agar tetap bertahan,” tegas pria yang biasa disapa Pak Tono ini.
Hal pertama yang harus dimiliki adalah hobi dan kencintaan kepada ikan ketika menjalani profesi sebagai petani ikan. “Hal ini penting, karena bila kita terjun di bisnis ikan dan hanya memikirkan keuntungan belaka, maka kita cepet stres dan cengeng. Karena bisnis ikan tidak selalu memberikan keuntungan yang besar saja. Sering juga mengalami kerugian yang besar pula.”
Selain hobi, petani ikan juga harus memiliki lokasi yang cocok, terutama unsur air, dengan jenis ikan yang ditanam. Ketiga, petani ikan harus menentukan pakan yang baik bagi ikannya. “Harap diingat, agar hasil panennya bagus, gunakanlah pakan yang sudah disediakan oleh alam.” Pak Tono selalu menggunakan pakan-pakan alami seperti kutu air, cacing sutra, artemia, cu, berbagai jenis talas, dan sebagainya.
Keempat, petani ikan harus memiliki pangsa pasar yang jelas. Ketika para petani memanen ikan, mereka harus memiliki jaringan pasar yang kuat agar hasil panen bisa dengan cepat diserap oleh pasar. Terakhir, para petani ikan harus ditunjang dengan modal yang kuat dan bisa berkelanjutan. Modal memang tidak harus besar, namun dibutuhkan kesediaan fiansial yang sanggup dipakai dalam jangka waktu panjang.
Kelima hal tersebutlah, menurut Pak Tono, yang menjadi kiat sukses menjadi seorang petani ikan. Memang ia kiranya tidak mengada-ada. Ia telah sukses dengan bisnis budidaya ikan hias dan budidaya ikan bawal. “Konsentrasi saya memang di budidaya ikan bawal.” Suhartono dikenal sebagai penyedia bibit ikan bawal unggulan di daerahnya. Ia memiliki 20 indukan ikan bawal dengan umur produktif.
“Saya memang hanya menjual larva ikan bawal kepada para petani lain.” Menurutnya usaha ini terbilang mudah dan menghasilkan untung yang lumayan besar. Ia hanya perlu membuat indukan bawal agar bertelur. Setelah bertelur, ikan-ikan dibiarkan menetas. Setelah larva ikan tersebut berumur antara 10-12 hari, ia langsung menjualnya pada petani ikan bawal pedaging.
Modal yang harus disiapkan sangatlah kecil. Pak Tono cukup menyediakan bahan-bahan seperti pakan ikan berupa artemia seharga Rp 200-ribu, hormon ikan Rp 125-ribu, dan cacing dengan harga Rp 7 ribu untuk produksi 2 ekor induk bawal. Setiap indukan bawal akan menghasilkan telur sebanyak 400-ribu butir telur. “Estimasi kegagalan tetas sekitar 12,5%. Dengan dua indukan, maka akan diperoleh sekitar 700-ribu larva ikan bawal siap jual.” Harga jual ditentukan per ekor sekitar 7 rupiah. Pak Tono akan meraih hasil penjualan sekitar Rp 4,9-juta. Jika modal produksi mencapai Rp 350-ribu, maka ia akan mengantongi keuntungan sekitar Rp 4,5-juta hanya dengan 2 induk bawal saja.
Prosesnya juga tidak terlalu sulit. Ikan yang memiliki kadar kematangan telur yang sesuai disuntik dengan hormon penyubur. Setelah itu, indukan ikan dibiarkan selama 17 jam. Selang 2 jam induk ikan akan bertelur. Kemudian, telur ikan tersebut akan diangkat dan dipisahkan ke dalam aquarium yang sudah disediakan hingga menetas dengan sendirinya. Larva tersebut tidak diberi makan sampai berumur tiga hari. Baru di hari keempat mereka diberi makan artemia. Dari umur empat hari sampai masa panen, larva ikan diberi makan dengan cacahan daging cacing.
Usaha ini dijalankan dengan interval waktu per tiga bulan. Nah, diwaktu senggang Pak Hartono menjalankan hari-harinya dengan membudidayakan ikan hias. Ia memelihara berbagai jenis ikan hias seperti Coridoras, Ggardnery, dan Neontetra. Ia menjual ikan hias miliknya ke pengepul. “Dari pengepul ini ikan-ikan hias dari petani kemudian diekspor ke Eropa, Amerika, dan Jepang,” ujar pria yang sempat meraih Juara I lomba ikan hias se-Kabupaten Bogor dalam kelompok tani “Mina Tangkar” dan Juara Berprestasi II Lomba Ikan Hias Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat ini.
ikanTIPS memelihara ikan cupang

Pohon Jenitri


Mengolah Buah Ganitri, Raih Omzet Ratusan Juta Rupiah



Peluh membasahi tubuh Komari usai menebang 20 pohon kelapa di halaman rumahnya. Aksi tebang pohon berumur 70 tahun itu keruan mengundang tawa warga Desa Dongdong, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kelapa yang serbaguna itu tumbang satu per satu. Di bekas lahan kelapa itulah ia menanam 73 bibit ganitri.
Empat tahun usai aksi tebang pohon itu, pada Juni 2002 orang-orang yang dulu menertawakan terperangah. Ketika itu Komari menuai 30 kg buah ganitri hanya dari 8 pohon. Omzet yang diraih Komari mencapai Rp8-juta.
<i>Elaeocarpus sphaericus</i> (640Wx480H) -
‘Memanen biji ganitri jauh menguntungkan dibanding kelapa,’ ujar pria kelahiran Cilacap 31 Desember 1925 itu. Bila sebatang kelapa menghasilkan 10 buah per bulan, ia paling-paling mengantongi Rp10.000 per pohon. Di kota minyak itu harga sebuah Cocos nucifera hanya Rp1.000.
Pendapatan itu lebih kecil ketimbang hasil penjualan ganitri, ‘Panen perdana satu pohon ganitri menghasilkan Rp250.000-Rp1,3-juta. Itu belum termasuk panen susulan,’ kata pensiunan perangkat desa itu. Tinggi rendahnya pendapatan itu lantaran ukuran biji yang tak seragam dari setiap pohon. Padahal, biji klitri-sebutannya di Madura-dihargai berdasarkan ukuran. Semakin kecil ukuran biji, kian tinggi harganya.
Naik terus
Menurut Komari, ‘Dari satu pohon belum tentu ada yang berukuran kecil.’ Biji ganitri dikelompokkan dalam 11 nomor, nomor 1-ukuran diameter 5 mm-adalah yang terkecil dan termahal. Nomor berikutnya setiap kenaikan 0,5 mm. Kelas 1-9 dihargai per butir, sedang nomor 10 dan 11 dihargai per kilogram.
Sejak pamornya naik, harga itu tak pernah turun, bahkan terus naik. Pada 1960 harga sebuah biji kelas 1 Rp0,5; sekarang, Rp152. Bandingkan dengan harga biji kelas 10 berukuran 9,5 mm mencapai Rp11.000 per kg; nomor 11 berukuran di atas 10 mm, Rp2.000 per kg. Setiap kenaikan diameter 0,5 mm, harga semakin turun. Harga sebuah biji nomor 9 ukuran 9 mm- Rp10.
‘Kelihatannya murah, tapi bila diakumulasikan bisa mencapai jutaan rupiah per pohon,’ papar ayah 3 anak itu. Dari sebuah pohon, biji yang termasuk kelas 1-9 tak sampai 20%. Pada panen perdana ketika pohon berumur 4 tahun, produksi mencapai 350.000 butir. Pekebun memanen buah pada September-Februari.
Varietas yang dibudidayakan Komari berproduksi ketika berumur 2 tahun; jenis lokal, umur 6-7 tahun. Batang varietas super lebih pendek sehingga memudahkan panen. Jenis super berumur 4 tahun tingginya 4 meter; lokal, 10-15 meter. Nah, jenis super itu lebih banyak menghasilkan biji kelas 1- 9. Dengan jarak tanam 6 m x 6 m, populasi ganitri di lahan 1 ha mencapai 120 pohon. ‘Setengahnya sudah berbuah dan siap panen 2 bulan mendatang,’ kata pria 72 tahun itu.
Di Desa Dongdong, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Komari bukan satu-satunya pekebun ganitri. Saat ini terdapat 70 pekebun yang membudidayakan pohon anggota famili Elaeocarpaceae itu di Cilacap. Setelah Komari sukses meraup laba besar, mereka ingin mengikuti jejaknya. Rata-rata mereka menanam 2-10 pohon mata dewa alias ganitri di pekarangannya.
Belum dikebunkan
Untuk apa biji ganitri itu? Pemeluk agama Hindu menggunakan biji ganitri sebagai sarana peribadatan. Biji-biji itu diuntai membentuk rangkaian seperti tasbih bagi penganut Islam atau rosario bagi kaum Nasrani. Itulah sebabnya pasar terbesar biji ganitri ke India dan Nepal. Negara di Asia Selatan itu penganut Hindu terbesar. Tak hanya itu, ganitri dipercaya berkhasiat obat berbagai penyakit (baca: Mata Siwa Penyapu Polutan halaman 116).
Di Indonesia ganitri lebih dikenal sebagai pohon pelindung. ‘Tak banyak orang Indonesia yang mengebunkannya,’ tutur Soma Temple, pengusaha ganitri di Bali. Itulah sebabnya Soma kadang-kadang kesulitan mencari bahan baku dan harus mengimpor dari India dan Nepal. Di bawah label Aum Rudraksha, ia rutin memasarkan minimal 100 mala alias tasbih ganitri ke Australia, Jepang, dan Italia. Harga termurah berkisar Rp50.000-Rp80.000. Jika menginginkan desain khusus, harganya lebih mahal.
Selain di Cilacap, sentra penanaman ganitri juga ada di Desa Gadungrejo, Kecamatan Klirong, Kebumen, Jawa Tengah. Menurut staf Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Kebumen, Supono, total penanaman 35 ha dengan produksi per ha mencapai 1,9 ton. Kasimun dan Jasmin, membudidayakan masing-masing 18 dan 8 pohon jenis super di lahan 1.875 m2 dan 200 m2.
Panen perdana 3 pohon milik Jasmin berlangsung pada April 2007. Ia menuai 6.000 biji kelas 5, 5.000 biji (4), 3.000 biji (3), 2.000 biji (2), dan 750 biji (1). Sisanya masuk nomor 10-11. Dari penjualan itu Jasmin mengantongi Rp2,1-juta. Ia pun berhasrat menambah populasi pohon hingga 20 batang.
Laba itu memang terbilang besar. Sebab, biaya pemeliharaan sebatang pohon rudraksa relatif kecil. Komari hanya menghabiskan Rp7.500 per pohon per tahun. Dana itu untuk pemupukan dan penyiraman. Artinya, dari 3 pohon milik Jasmin yang sudah berproduksi, menelan biaya Rp22.500. Harga sebuah bibit sambung susu Rp100.000. Hasilnya mencapai jutaan rupiah dalam setahun.
Palsu
Bukan berarti usaha Kasimun selalu mulus. Awal menanam 40 bibit sambung susu yang didatangkan dari Cilacap mati menyisakan 18 batang saja. Kerugian yang dideritanya sekitar Rp2-juta. ‘Bibit patah karena tak tahan diterpa angin,’ kata Kasimun. Tak mau mengulangi kisah pahit itu, ia selalu memberi ajir setiap bibit yang baru ditanam dengan bambu sampai umur 1,5 tahun. Hama yang ditemui biasanya berupa ulat cokelat yang makan dan bersarang di dalam batang muda. Akibatnya tanaman kering dan mati. Jika hambatan teratasi, peluang bisnis ganitri masih terbentang.
Biji Elaeocarpus ganitrus dapat dijual dalam keadaan basah maupun kering. Namun, kebanyakan pekebun menjual kering lantaran keuntungan lebih besar. Dalam keadaan basah, biji kelas 1 dapat digolongkan nomor 3 karena kulit pembungkus biji cukup tebal. Apalagi mengupas kulit buah mudah dilakukan. Pekebun biasanya merebus buah ganitri dalam air mendidih selama 2 jam. Setelah kulit luar melunak, pekebun membersihkan dan menjemurnya selama 18 jam.
Pekebun seperti Komari menyetorkan biji kering kepada eksportir di Jakarta. ‘Berapa pun volumenya diambil,’ katanya. Eksportir membutuhkan 320 ton ganitri sekali kirim. Syaratnya biji ganitri harus cerah. Dibutuhkan saringan untuk menyeleksi biji ganitri dalam 11 kelompok dan menghitung jumlah biji setiap kelas.
Berapa pun harganya, selalu dibayar tunai. Dari setiap kelas yang ia beli, Komari mengutip minimal Rp10 per butir. Setiap musim panen rata-rata ia membeli hingga 1,5 ton ganitri dengan total pembelian seharga Rp600-juta. Sebagai pengepul, laba bersihnya lebih dari Rp100-juta per bulan.
Menurut Indian Times, setiap tahun jutaan biji rudaksa asal Indonesia masuk ke India. Nilai transaksi diestimasi mencapai Rp500-miliar. Kelangkaan dan tingginya kebutuhan itu memunculkan penjual nakal yang memperdagangkan biji ganitri palsu. Tidak semestinya berbisnis pengingat Tuhan kok menyediakan mala palsu.